KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul
"
Sejarah Kodifikasi
Hadist (Pembukaan abad II, III, IV, V Hijriah sampai sekarang)".
Makalah ini disusun
dengan tujuan sebagai salah satu tugas pembelajaran mata kuliah Ulumul Hadist
dan sebagai pelengkap materi yang ada di SAP.
Adapun sumber dari
makalah ini, kami dapat dari buku dan internet. Dalam pembuatan makalah ini
masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca.
Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini terutama kepada dosen pengampu.
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hadist merupakan sebagai rujukan hukum islam yang kedua, memiliki
sejarah yang unik di bandingkan Al–Qur’an. Jika Al-Qur’an sebagai rujukan
pertama, maka tidak heran jika
penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan sampai
sekarang. Beda halnya dengan Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu
mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang
pada awal-awal Islam, penulisan Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan
terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat
al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal
Islam masih terbilang sedikit yang hafal Al-Quran ataupun ahli Qiraah. Namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap
dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah
sudah tidak terhitung banyaknya.
Keadaan seperti itu terus berlanjut,
hingga akhir abad pertama. Para ulama
(Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan
(dikodofikasikan). Maka muncullah khalifah
Umar bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama
pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan pengertian kodifikasi dan sejarah hadis!
2.
Jelaskan sejarah kodifikasi hadis abad pembukaan II,
III, IV ,V sampai sekarang!
3.
Sebutkan alasan-alasan yang mendasari pengkodifikasian
hadis!
4.
Jelaskan upaya-upaya kodifikasi hadis dan hasil yang
dicapai!
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian kodifikasi dan sejarah
hadis
2.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis dari abad pembukaan
II, III, IV, V sampai sekarang
3.
Untuk mengetahui alasan-alasan yang mendasari
pengkodifikasian hadis
4.
Untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan
dalam pengkodifikasian hadis
BAB II
Isi dan Pembahasan
1.
Pengertian
kodifikasi dan sejarah hadis
Dalam banyak literatur
dijumpai bahwa penkodifikasian hadis secara resmi dilakukan pada masa
pemerintahan ‘Umar ibn’ Abd al-‘ Aziz. (99-101 H). Untuk mewujudkan niatnya, ia
mengirimkan instruksi kepada seluruh gubernur untuk mengumpulkan hadis di
wilayahnya masing-masing. Secara khusus, ia juga mengirim instruksi tersebut
kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad ibn Hazm (w. 117H) untuk
mengumpulkan hadis-hadis yang ada padanya dari ‘Amrah binti Abd al-Rahman
al-Anshari, murid ‘Aisyah.
Intruksi serupa juga
dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri. Ibn
Syihablah orang pertama yang memenuhi instruksi tersebut, sehingga ia dikenal
sebagai orang pertama melakukan kodifikasi hadis. Gagasan tentang pembukuan
hadis sebelumnya pernah terpikirkan oleh ‘Umar bin Khatthab dan sudah mendapat
persetujuan dari sebagian besar sahabat. Namun kemudian beliau membatalkan
rencana tersebut karena beberapa alasan. Secara tidak langsung dapat dinyatakan
bahwa apa yang dilakukan oleh ‘Uamr ibn Abd al-‘Aziz adalah sesuatu yang pernah
direncanakan oleh khalifah sebelumnya, ‘Umar bin Khatthab.
Pembukaan hadis ini
dipengaruhi oleh beberapa kondisi, diantaranya adalah fenomena penyebarluasan
hadis yang tidak merata, dan semakin berkembangnya pemalsuan hadis. Pada
dasarnya gerakan pencatatan dan pengumpulan hadis juga telah dilakukan gubernur
Mesir, ‘Abd al-Aziz bin Marwin, dengan meminta Katsir bin Murrah untuk mencatat
dan mengumpulkan hadis-hadis nabi.
Menurut ‘Ajjaj
al-Khathib, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Marwan ibn ‘Adb al-‘Aziz
tersebut adalah kegiatan pembukaan secara resmi. Namun menurut Syuhudi Ismail,
pendapat ‘Ajjaj al-Khathib ini mengandung beberapa kelemahan, yakni pertama, jabatan ‘Adb al-Aziz ibn
Marwan bukan sebagai kepala negara, melainkan hanya seorang gubernur; kedua, permintaan penulisan hadis
tersebut ditujukan kepada ulama yang berada diluar wilayah Mesir; ketiga, permintaan penulisan hadis itu
sendiri bersifat pribadi.
Meskipun demikian bukan
berarti bahwa antara surat yang dikeluarkan ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan dengan
instruksi ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz tidak terdapat hubungan sama sekali. Kuat
dugaan bahwa ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan telah memberikan inspirasi dan dorongan
kepada ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz selaku kepala negara, untuk membukukan hadis
secara resmi. Disamping itu, bukan mustahil pula bahwa ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz tersebut memiliki motivasi
tersendiri tentang gagasannya itu. Menurut Abu Zahw, motivasi ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz adalah: pertama, tidak ada lagi kekhawatiran terhadap pencampuran al-Qur’an
dengan hadis, karena pada waktu itu al-Qur’an telah dibukukan dan sudah
tersebar luas sejak masa sahabat; kedua,
berkenaan dengan munculnya hadis-hadis palsu; ketiga, ulama yang hafal hadis semakin berkurang jumlahnya, sedang
mereka yang masih ada berpencar-pencar domisili dan tempatnya; keempat, banyaknya orang non-Arab
(‘ajam) yang memeluk Islam sementara mereka belum begitu kuat hafalannya.
2.
Sejarah kodifikasi hadis abad pembukaan II,
III, IV ,V sampai sekarang
Sejak abab I
H, yakni atas
prakarsa gubernur mesir Abdul Aziz Bin Marwan yang memerintahkan kepada Khatir
bin Murrah seorang ulama Himsy yang di perintahkan untuk mengumpukan
hadist, yang kmudian disanggah oleh Syudi Ismail dengan alasan bahwa perintah
Abdul Aziz Bin Marwan bukan perintah resmi legal dan kedinasan terhadap ulama
yang berada di luar wilayah kekuasaanya.
Sejak Awal
Abad Ke II H, yakni masa ke 5 dinasti Abbasiyyah, Umar Ibnu Abdul
Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama’ di wilayah kekuasaanya
utuk mengumpulkan hadist - hadist Nabi. Khalifah ini terkenal dengan
sebutan Umar II, yang mengisaratkan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan Umar
Ibn Khattab yang bijak sana dalam memimpin tampuk kekuasaan. Khalifah Umar
menginstruksikan kepada gubernur madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin
Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpukan hadist yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita
Amrah Binti Abdurrahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, Murid Aisyah Ummul
Mukminin. Beliau menyatakan kepada Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm
“ Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadist Rasulullah SAW,
lalu tulislah karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya
ulama’ dan jangan ada terima selain hadist Rasulullah SAW dan hendaklah anda sebarkan
ilmu dan menggandakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengatahui
dapat mengetahuinya lantaran tidak lenyapnya ilmu hingga di jadikannya barang
rahasia”.
Berdasarkan instruksi resmi khalifah
itu, Ibn Hazm meminta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah Bin Syihab Az Zuhry ( Ibnu Syihab Az Zuhry )
seorang ulama besar dan mufti Hijaj dan Syam untuk turut membukukan hadist
Rasulullah SAW.
Pendapat ini yang dianut para Jamhur
Ulama’ Hadist, dengan pertimbangan Jabatan Gubernur, Khalifah memerintahkan
kepada gubernur dan ulama’ dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak
lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu untuk mewujudkan demi terkumpulnya
hadist dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadist yang sudah ada dan
marak tetapi belum selesai di tulis pada masa Nabi, baru di upayakan
kodifikasinya secara serentak, resmi dan masal pada abab ke II H, yakni pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meskipun inisiatif tersebut
awalnya berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisaratkan hal yang
sama sebelumnya.
Ã
Periode
penyaringan Hadist (Abad ke-III H), Periode ini
dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu
pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist,
melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits
yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu'
dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan
beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka. Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang
hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu
al-Sittah" yaitu:
a.
Shahih
al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih, karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Menurut penelitian
Ibnu Hajar (852 H.). Seperti yang
disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi
al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082 hadits yang terdiri
dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 macam hadits marfu'. Namun Ibnu Hajar
tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari. Kitab
tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di
antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi
Jamrah, masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi
Jamrah.
b.
Shahih al-Muslim,,
karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim
al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).
c.
Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-'Asy'as bin Ishaq al-Sajastani
(202-275 H.)
d.
Sunan
alTirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa
bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
e.
Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy (215-302 H.)
f.
Sunan Ibnu
Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid
Ibnu Majah (207-273 H.)
Ã
Periode Penghafalan Hadits (Abad ke-IV H)
Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang
dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau
tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri,
dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits,
mereka hanya meneliti dari
kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang
telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal
beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar
keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab
– kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
a.
Mu’jamu
al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
b.
Sunan
al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali
bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
c.
Shahih bin
‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin
Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
d.
Shahih Ibnu
Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad
bin Ishaq (316 H.).
Ã
Periode Mengklasifikasikan dan Mensistemasikan
Susunan Kitab-kitab hadits (Abad ke V H dan seterusnya), Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping
itu mereka telah men-syarahkan (menguraikan
dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah
disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu
'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini
antara lain:
a.
Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
b.
Muntaqa
al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652
H.)
c.
Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
d.
Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar,
karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Dan muncul
pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti:
a.
Al-Targhib
wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
b.
Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan
al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam
Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode
ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits
attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya:
a.
al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya
al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
b.
Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i
al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
c.
Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi
al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
d.
Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr.
A.J. Winsinc.
3.
Alasan-alasan pengkodifikasian
Hadist
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut
oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat
mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah
meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan
dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.) sebagai (Khalifah
kedelapan dari Bani Umayyah) berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits
dengan beberapa pertimbangan :
a.
Keinginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. Karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan
belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.
Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari
hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi
golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik
ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar
sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.
Alasan tidak
terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah saw. Dan
khulafaurrasyidin karena adanya
kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. Hal ini disebabkan
al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh
pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan
di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang
kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan
hadits.
Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada
padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah
أكتب إلي بما
ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم
وذهابه (رواه الدارمي)
"Tulislah
padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur
Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas
instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya
maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari
'Aisyah r.s. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry
seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan dan
menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada
masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para
ahli sejarwan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang
pertmakali mengodifikasikan hadits secara resmi atas perintah Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.
Setelah
periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian
hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. Bangunlah ulama-ulama
pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary (w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah,
al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah,
Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w
156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua H sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. Yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.
4.
Upaya-upaya pengkodifikasian yang
telah dicapai
Muhammad ibn
Muslim Ibn Syhihab al-Zuhri (terkenal dengan sebutan al-Zuhri saja) adalah
orang yang pertama mempelopori usaha pengkodifikasian hadis Nabi. Bahkan dengan
tegas, ia mengatakan: “Tidak ada
seorangpun yang membukukan ilmu ini, selainku.” Upaya kodifikasi yang
dilakukan al-Zuhri ini, sebenarnya dapat dikatakan sebagai upaya mandiri, tanpa
adanya bantuan dari orang lain, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin ‘Abd
al-Rahman kepada Layts ibn Sa’ad. Senada dengan itu, Imam Muslim juga
mengatakan bahwa: “Al-Zuhri memiliki 70 hadis yang diriwayatkannya dari
Rasulullah, yang tidak dibantu oleh seorangpun dengan sanad-sanad yang
kredibel.
Karya-karya
al-Zuhri memang tidak sampai ketangan kita era sekarang. Namun secara luas,
para ulama menukilkan dalam berbagai kitabnya, bahwa karya al-Zuhri adalah
karya yang merintis pengkodifikasian hadis, yang merupakan kategori hadis
kodifikasi murni. Periode pasca Ibnu Hazm dan al-Zuhri, muncul pula para ulama
di beberapa kota yang juga melakukan upaya-upaya serupa, seperti ulama di
Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Syam, Yaman, Wasith, Khurasan dan Mesir.
Kodifikasi
hadis yang dilakukan pada masa ini adalah menuliskan dan mengumpulkan beberapa
naskah serta menyusun ke dalam bab-bab, lalu disusun kedalam satu kitab yang dinamakan dengan Mushannaf atau Jami’. Diantara kelemahan kitab-kitab ini, adalah bercampurnya
hadis nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Karya era ini yang sampai ke
tangan kita hanyalah kitab al-Muwaththa’
karya Imam Malik.
Pada masa
berikutnya, penghujung abad ke-2 hijriyah muncul para ulama yang berinisiatif
untuk memisahkan hadis nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Untuk maksud ini,
mereka menyusun kitab-kitab musnad.
Orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abu Dawd al-Thayalisi (w.240H).
Selanjutnya disusul beberapa ulama seperti, Asad bin Musa al-Amawi (w.212H) dan
yang paling terkenal adalah Ahmad bin Hanbal (164-241H).
Namum pada
periode ini hadis belum diseleksi dari yang dha’if. Belum muncul kaedah-kaedah
untuk mengetahui keshahihan dan kedha’ifan suatau hadis. Oleh sebab itu, para
ulama yang datang kemudian berinisiatif untuk menyeleksi hadis-hadis untuk
menentukan yang shahih, hasan dan dha’if. Mereka menenetapkan pula
kaedah-kaedah untuk keperluan itu baik dari segi sanad atau matan.
Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim adalah dua ulama yang paling menonjol dala hal ini,
disamping ashab al-Sunan, yakni
al-Tirmidzi, Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Hasil karya mereka dipandang
oleh para ulama memiliki otentisitas yang tinggi, meskipun dengan stratifikasi
yang berbeda-beda. Karenanya, mereka ini dipandang telah menghasilkan
kodifikasi metodelogis hadis, yang selanjutnya dianggap sebagai bahan referensi
dalam bidang dan dan secara keseluruhan dikenal sebagai enam kitab hadis
standard (al-Kutub al-Sittah).
Ulama-ulama
yang muncul setelah abad ke-3 ini, dalam upaya pengkodifikasian, hanya memberi
komentar dan penjelasan (syarh), membuat ringkasan (ikhtisar), men-tahdzib dan lain-lain. Mereka
sesungguhnya hanya mempelajari kitab yang disusun oleh para ulama sebelumnya.
Ulama periode ini sering disebut sebagai ulama mutaakhirin.
BAB III
Penutupan
KESIMPULAN
Dari uraian mengenai sejarah
pengkodifikasian hadis abad II, III, IV, V sampai sekarang dapat kita ketahui
bahwa dalam sejarah pengkodifikasiannya hadis para imam dan ulama sangat
selektif dalam pengelompokannya dan sangat teliti dalam memilah ungkapan hadis. Apakah itu merupakan perkataan Nabi
ataupun merupakan fatwa dari para sahabat nabi atau tabi’in. Dari uraian
tersebut kita juga dapat mengetahui sejarah perkembangan hadis hingga sekarang
dan mengetahui siapa saja para iman dan ulama yang telah berjasa dalam sejarah
pengkodofikasiannya.
SARAN
Sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada
imam-imam hadits yang begitu susah payah dalam mengumpulkan hadits. Akan tetapi
sebagai pelajar yang sedang mempelajari hadits, sudah waktunya kita kritis
terhadap hadits yang kita jumpai, apakah itu kajian tentang sanad maupun matan
hadits. Karena dengan begitu kita berarti telah mencoba mengkontekstualisasikan
haditst, dengan harapan menghilangkan asumsi-asumsi bahwa hadits merupakan
sebuah budaya yang terikat dengan ruang, waktu dan zaman yang pada akhirnya
menuntut pembekuan hadits itu sendiri. Bagaimanapun juga kondisi sosial dan
budaya telah mengalami perubahan sehingga diperlukan pula dinamisasi pemahaman
pedoman hidup yang dalam hal ini adalah al-Quran dan hadits. Cukup sekian apa
yang dapat kami sajikan kiranya ada kekurangan mohon untuk dilengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press, 2010
al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu
al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu", Daru al-Fikr. tt.
Beirut.
Mudasir "Ilmu Hadis"
; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l
Hadits". 1974. PT. ALMA'ARIF BANDUNG.
Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa
Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi
Li al-Malayin. Beirut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar