Cute White Flying Butterfly

Kamis, 17 September 2015

Sejarah Kodifikasi Hadist (Pembukaan abad II, III, IV, V Hijriah sampai sekarang)



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul " Sejarah Kodifikasi Hadist (Pembukaan abad II, III, IV, V Hijriah sampai sekarang)".
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai salah satu tugas pembelajaran mata kuliah Ulumul Hadist dan sebagai pelengkap materi yang ada di SAP.
Adapun sumber dari makalah ini, kami dapat dari buku dan internet. Dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada dosen pengampu.






BAB I
Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Hadist merupakan sebagai rujukan hukum  islam yang kedua, memiliki sejarah yang unik di bandingkan Al–Qur’an. Jika Al-Qur’an sebagai rujukan pertama, maka tidak heran jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan sampai sekarang. Beda halnya dengan Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang pada awal-awal Islam, penulisan Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal Islam masih terbilang sedikit yang hafal Al-Quran ataupun ahli Qiraah. Namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah tidak terhitung banyaknya.
Keadaan seperti itu terus berlanjut, hingga akhir abad pertama. Para ulama (Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan). Maka muncullah khalifah Umar bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.

1.2  Rumusan Masalah
   1.      Jelaskan pengertian kodifikasi dan sejarah hadis!
   2.      Jelaskan sejarah kodifikasi hadis abad pembukaan II, III, IV ,V sampai sekarang!
   3.      Sebutkan alasan-alasan yang mendasari pengkodifikasian hadis!
   4.      Jelaskan upaya-upaya kodifikasi hadis dan hasil yang dicapai!

1.3  Tujuan
   1.      Untuk mengetahui pengertian kodifikasi dan sejarah hadis
   2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis dari abad pembukaan II, III, IV, V sampai sekarang
   3.      Untuk mengetahui alasan-alasan yang mendasari pengkodifikasian hadis
   4.      Untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengkodifikasian hadis

BAB II
Isi dan Pembahasan
1.     Pengertian kodifikasi dan sejarah hadis
Dalam banyak literatur dijumpai bahwa penkodifikasian hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar ibn’ Abd al-‘ Aziz. (99-101 H). Untuk mewujudkan niatnya, ia mengirimkan instruksi kepada seluruh gubernur untuk mengumpulkan hadis di wilayahnya masing-masing. Secara khusus, ia juga mengirim instruksi tersebut kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Muhammad ibn Hazm (w. 117H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada padanya dari ‘Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari, murid ‘Aisyah.
Intruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri. Ibn Syihablah orang pertama yang memenuhi instruksi tersebut, sehingga ia dikenal sebagai orang pertama melakukan kodifikasi hadis. Gagasan tentang pembukuan hadis sebelumnya pernah terpikirkan oleh ‘Umar bin Khatthab dan sudah mendapat persetujuan dari sebagian besar sahabat. Namun kemudian beliau membatalkan rencana tersebut karena beberapa alasan. Secara tidak langsung dapat dinyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh ‘Uamr ibn Abd al-‘Aziz adalah sesuatu yang pernah direncanakan oleh khalifah sebelumnya, ‘Umar bin Khatthab.
Pembukaan hadis ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi, diantaranya adalah fenomena penyebarluasan hadis yang tidak merata, dan semakin berkembangnya pemalsuan hadis. Pada dasarnya gerakan pencatatan dan pengumpulan hadis juga telah dilakukan gubernur Mesir, ‘Abd al-Aziz bin Marwin, dengan meminta Katsir bin Murrah untuk mencatat dan mengumpulkan hadis-hadis nabi.
Menurut ‘Ajjaj al-Khathib, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Marwan ibn ‘Adb al-‘Aziz tersebut adalah kegiatan pembukaan secara resmi. Namun menurut Syuhudi Ismail, pendapat ‘Ajjaj al-Khathib ini mengandung beberapa kelemahan, yakni pertama, jabatan ‘Adb al-Aziz ibn Marwan bukan sebagai kepala negara, melainkan hanya seorang gubernur; kedua, permintaan penulisan hadis tersebut ditujukan kepada ulama yang berada diluar wilayah Mesir; ketiga, permintaan penulisan hadis itu sendiri bersifat pribadi.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa antara surat yang dikeluarkan ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan dengan instruksi ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz tidak terdapat hubungan sama sekali. Kuat dugaan bahwa ‘Abd al-‘Aziz ibn Marwan telah memberikan inspirasi dan dorongan kepada ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz selaku kepala negara, untuk membukukan hadis secara resmi. Disamping itu, bukan mustahil pula bahwa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz  tersebut memiliki motivasi tersendiri tentang gagasannya itu. Menurut Abu Zahw, motivasi ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz  adalah: pertama, tidak ada lagi kekhawatiran terhadap pencampuran al-Qur’an dengan hadis, karena pada waktu itu al-Qur’an telah dibukukan dan sudah tersebar luas sejak masa sahabat; kedua, berkenaan dengan munculnya hadis-hadis palsu; ketiga, ulama yang hafal hadis semakin berkurang jumlahnya, sedang mereka yang masih ada berpencar-pencar domisili dan tempatnya; keempat, banyaknya orang non-Arab (‘ajam) yang memeluk Islam sementara mereka belum begitu kuat hafalannya.

        2.     Sejarah kodifikasi hadis abad pembukaan II, III, IV ,V sampai sekarang
Sejak abab I H, yakni atas prakarsa gubernur mesir Abdul Aziz Bin Marwan yang memerintahkan kepada Khatir bin Murrah seorang ulama Himsy yang di perintahkan untuk mengumpukan hadist, yang kmudian disanggah oleh Syudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz Bin Marwan bukan perintah resmi legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaanya.

Sejak Awal Abad Ke II H, yakni masa ke 5 dinasti Abbasiyyah, Umar Ibnu Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama’ di wilayah kekuasaanya utuk mengumpulkan hadist - hadist Nabi. Khalifah ini terkenal dengan sebutan Umar II, yang mengisaratkan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan Umar Ibn Khattab yang bijak sana dalam memimpin tampuk kekuasaan. Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpukan hadist yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita Amrah Binti Abdurrahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, Murid Aisyah Ummul Mukminin. Beliau menyatakan kepada Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm “ Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadist Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama’ dan jangan ada terima selain hadist Rasulullah SAW dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan menggandakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengatahui dapat mengetahuinya lantaran tidak lenyapnya ilmu hingga di jadikannya barang rahasia”.
Berdasarkan instruksi resmi khalifah itu, Ibn Hazm meminta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah Bin Syihab Az Zuhry ( Ibnu Syihab Az Zuhry )  seorang ulama besar dan mufti Hijaj dan Syam untuk turut membukukan hadist Rasulullah SAW. 
Pendapat ini yang dianut para Jamhur Ulama’ Hadist, dengan pertimbangan Jabatan Gubernur, Khalifah memerintahkan kepada gubernur dan ulama’ dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu untuk mewujudkan demi terkumpulnya hadist dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadist yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai di tulis pada masa Nabi, baru di upayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan masal pada abab ke II H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meskipun inisiatif tersebut awalnya berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisaratkan hal yang sama sebelumnya. 

à   Periode penyaringan Hadist (Abad ke-III H), Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka. Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu al-Sittah" yaitu:
a.       Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih, karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). Seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082  hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 macam hadits marfu'. Namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari. Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
b.      Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.).
c.       Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin al-'Asy'as bin Ishaq al-Sajastani (202-275 H.)
d.      Sunan alTirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi (200-279 H.)
e.       Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy (215-302 H.)
f.       Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H.)

à   Periode Penghafalan Hadits (Abad ke-IV H)
Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya meneliti dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
a.       Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
b.      Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
c.       Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
d.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).
à   Periode Mengklasifikasikan dan Mensistemasikan Susunan Kitab-kitab hadits (Abad ke V H dan seterusnya), Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka telah men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
a.       Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
b.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
c.       Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
d.      Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, seperti:
a.        Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
b.      Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya:
a.       al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
b.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
c.       Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
d.      Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.

        3.     Alasan-alasan pengkodifikasian Hadist
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H.) sebagai (Khalifah kedelapan dari Bani Umayyah) berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a.       Keinginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. Karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.      Keinginan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.       Alasan tidak terkodifikasinya al-Hadits di zaman Rasulullah saw. Dan
khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. Hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits.
Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah
أكتب إلي بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه  (رواه الدارمي)
"Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.s. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli sejarwan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertmakali mengodifikasikan  hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. Bangunlah ulama-ulama pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary (w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad kedua H sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. Yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.

         4.     Upaya-upaya pengkodifikasian yang telah dicapai
Muhammad ibn Muslim Ibn Syhihab al-Zuhri (terkenal dengan sebutan al-Zuhri saja) adalah orang yang pertama mempelopori usaha pengkodifikasian hadis Nabi. Bahkan dengan tegas, ia mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang membukukan ilmu ini, selainku.” Upaya kodifikasi yang dilakukan al-Zuhri ini, sebenarnya dapat dikatakan sebagai upaya mandiri, tanpa adanya bantuan dari orang lain, seperti yang dikatakan oleh Sa’ad bin ‘Abd al-Rahman kepada Layts ibn Sa’ad. Senada dengan itu, Imam Muslim juga mengatakan bahwa: “Al-Zuhri memiliki 70 hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah, yang tidak dibantu oleh seorangpun dengan sanad-sanad yang kredibel.
Karya-karya al-Zuhri memang tidak sampai ketangan kita era sekarang. Namun secara luas, para ulama menukilkan dalam berbagai kitabnya, bahwa karya al-Zuhri adalah karya yang merintis pengkodifikasian hadis, yang merupakan kategori hadis kodifikasi murni. Periode pasca Ibnu Hazm dan al-Zuhri, muncul pula para ulama di beberapa kota yang juga melakukan upaya-upaya serupa, seperti ulama di Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Syam, Yaman, Wasith, Khurasan dan Mesir.
Kodifikasi hadis yang dilakukan pada masa ini adalah menuliskan dan mengumpulkan beberapa naskah serta menyusun ke dalam bab-bab, lalu disusun kedalam satu  kitab yang dinamakan dengan Mushannaf atau Jami’. Diantara kelemahan kitab-kitab ini, adalah bercampurnya hadis nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Karya era ini yang sampai ke tangan kita hanyalah kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Pada masa berikutnya, penghujung abad ke-2 hijriyah muncul para ulama yang berinisiatif untuk memisahkan hadis nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Untuk maksud ini, mereka menyusun kitab-kitab musnad. Orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abu Dawd al-Thayalisi (w.240H). Selanjutnya disusul beberapa ulama seperti, Asad bin Musa al-Amawi (w.212H) dan yang paling terkenal adalah Ahmad bin Hanbal (164-241H).
Namum pada periode ini hadis belum diseleksi dari yang dha’if. Belum muncul kaedah-kaedah untuk mengetahui keshahihan dan kedha’ifan suatau hadis. Oleh sebab itu, para ulama yang datang kemudian berinisiatif untuk menyeleksi hadis-hadis untuk menentukan yang shahih, hasan dan dha’if. Mereka menenetapkan pula kaedah-kaedah untuk keperluan itu baik dari segi sanad atau matan.
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim adalah dua ulama yang paling menonjol dala hal ini, disamping ashab al-Sunan, yakni al-Tirmidzi, Abu Daud, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Hasil karya mereka dipandang oleh para ulama memiliki otentisitas yang tinggi, meskipun dengan stratifikasi yang berbeda-beda. Karenanya, mereka ini dipandang telah menghasilkan kodifikasi metodelogis hadis, yang selanjutnya dianggap sebagai bahan referensi dalam bidang dan dan secara keseluruhan dikenal sebagai enam kitab hadis standard (al-Kutub al-Sittah).
Ulama-ulama yang muncul setelah abad ke-3 ini, dalam upaya pengkodifikasian, hanya memberi komentar dan penjelasan (syarh), membuat ringkasan (ikhtisar), men-tahdzib dan lain-lain. Mereka sesungguhnya hanya mempelajari kitab yang disusun oleh para ulama sebelumnya. Ulama periode ini sering disebut sebagai ulama mutaakhirin.





BAB III
Penutupan

KESIMPULAN
Dari uraian mengenai sejarah pengkodifikasian hadis abad II, III, IV, V sampai sekarang dapat kita ketahui bahwa dalam sejarah pengkodifikasiannya hadis para imam dan ulama sangat selektif dalam pengelompokannya dan sangat teliti dalam memilah ungkapan  hadis. Apakah itu merupakan perkataan Nabi ataupun merupakan fatwa dari para sahabat nabi atau tabi’in. Dari uraian tersebut kita juga dapat mengetahui sejarah perkembangan hadis hingga sekarang dan mengetahui siapa saja para iman dan ulama yang telah berjasa dalam sejarah pengkodofikasiannya.


SARAN
Sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada imam-imam hadits yang begitu susah payah dalam mengumpulkan hadits. Akan tetapi sebagai pelajar yang sedang mempelajari hadits, sudah waktunya kita kritis terhadap hadits yang kita jumpai, apakah itu kajian tentang sanad maupun matan hadits. Karena dengan begitu kita berarti telah mencoba mengkontekstualisasikan haditst, dengan harapan menghilangkan asumsi-asumsi bahwa hadits merupakan sebuah budaya yang terikat dengan ruang, waktu dan zaman yang pada akhirnya menuntut pembekuan hadits itu sendiri. Bagaimanapun juga kondisi sosial dan budaya telah mengalami perubahan sehingga diperlukan pula dinamisasi pemahaman pedoman hidup yang dalam hal ini adalah al-Quran dan hadits. Cukup sekian apa yang dapat kami sajikan kiranya ada kekurangan mohon untuk dilengkapi.




DAFTAR PUSTAKA

Dr. Hj. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press, 2010
al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt. Beirut.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. ALMA'ARIF BANDUNG.
Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayin. Beirut